Kretek adalah rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh. Kata "kretek" sendiri berasal dari bunyi gemeretak cengkeh yang timbul ketika rokok dibakar.
Mengenai jenisnya, ada rokok Kretek non-filter dan dengan filter. Kretek yang non-filter masih terbagi dari yang tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkeh. Sedangkan kretek dengan filter berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh.
Pada awalnya, rokok di Indonesia hanya dibuat di rumah (home industry). Proses pembuatannya dilinting dan dibungkus dengan kulit jagung.Tidak sampai akhir abad ke-19 orang-orang mulai menambahkan cengkeh untuk rokok mereka. Tren ini berlangsung cepat dalam beberapa tahun kemudian dimana rokok kretek mulai diproduksi secara komersial. Orang pertama yang mencampurkan cengkeh ke dalam rokok adalah Haji Djamhari, seorang warga Kudus, Jawa Tengah.
Dikisahkan bahwa pada awalnya Pak Haji Djamhari penduduk asli Kudus ini merasa sakit bagian dada, ia kemudian mengoleskan minyak cengkeh, dan merasa bahwa sakitnya telah reda Haji Djamhari kemudian berekpresimen dengan cengkeh tersebut, ia merajang cengkeh dan dicampur dengan tembakau kemudian dilinting menjadi sebuah rokok. Setelah rutin menghisap rokok hasil karyanya, Djamhari merasa sakitnya hilang. Ia menceritakan penemuannya, dan berita ini pun menyebar cepat. Permintaan “rokok obat” ini pun sangat banyak, Djamari pun melayaninya. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek”. Kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal.
Haji Djamhari wafat sebelum era produksi massal dari rokok kretek. Akhirnya usaha bisnis ini diteruskan oleh seorang warga Kudus yang lain, yaitu Nitisemito. Ia mengubah industri rumahan tersebut menjadi produksi massal melalui dua cara. Pertama, ia menciptakan mereknya sendiri, yaitu Bal Tiga, dan membangun citra merek tersebut. Pengembangan label-label produknya dicetaknya di Jepang dan berbagai hadiah diberikan secara cuma-cuma kepada perokok setianya bila mereka menyerahkan bungkus kosong produknya. Kedua, ia mulai mengerjakan berbagai tugas melalui subkontrak. Misalnya ada pihak yang menangani para pekerja, sedangkan Nitisemito menyediakan tembakau, cengkeh dan sausnya.
Praktik bisnis seperti ini cepat diadopsi oleh pabrik rokok kretek yang lain dan berlanjut hingga pertengahan abad ke-20, ketika perusahaan-perusahaan mulai merekrut para karyawan sendiri untuk menjamin kualitas dan loyalitas. Nitisemito memulai karirnya pada tahun 1914. Pada tahun 1938, usaha Nitisemito mencapai puncak kejayaan. Saat itu Nitisemito memiliki 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok setiap harinya. Bahkan, saat itu pula Nitisemito mempunyai seorang tenaga pembukuan yang berasal dari Belanda. Tercatat juga dalam sejarah bahwa Nitisemito adalah pengusaha pertama yang melakukan promosi dengan menyewa pesawat Fokker untuk menyebarkan pamflet kretek dagangannya. Promosi kreatif lainnya adalah memberikan bonus piring, gelas, radio, dan barang lainnya kepada pembeli rokok kreteknya. Sebuah pencapaian luar biasa untuk seorang pengusaha pribumi pada jamannya.
Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing-masing. Berangkat dari sejarah penemuan dan pengembangan rokok kretek di nusantara ini, maka beberapa pihak pun memperjuangkan agar penemuan asli putra bangsa ini bisa diakui sebagai warisan dunia asli Indonesia. Sebagaimana orang mengenal cerutu dari Kuba. Maka kalau menyebut kretek, orang mengenal kretek itu ya dari Indonesia.
sumber :dunia sejarah
No comments: